Selasa, 12 Agustus 2008

Antara Eropa dan Afrika

Namanya Ciwaruga. Aku tak pernah tahu mengapa daerah ini dinamakan seperti itu. Begitu banyak nama tempat di Jawa Barat yang dinamakan dengan awalan ci. Lalu, apa arti dari waruga? Entahlah, aku tidak punya alasan yang kuat untuk sekedar mencari arti dari nama itu, padahal di lain waktu, aku akan membutuhkannya.



Jalan utamanya sudah keropos seperti gigi nenek buyutku karena beban yang tiap hari ditimpakan oleh mobil-mobil besar yang lewat. Sebagian dikarenakan oleh pembangunan yang seenaknya. Orang-orang kota yang membangun villa di desa ini membuang air sisa membangun rumah ke jalan, sehingga menggerogoti jalan itu. Padahal, beberapa tahun lalu, jalan desaku ini telah mencicipi rasanya aspal hotmix. Aku sangat bangga saat itu.



Saat musim kemarau tiba, debu beterbangan tertiup angin, membuat udara sangat panas dan kotor. Rumah-rumah di pinggir jalan terkena imbasnya. Hampir setiap hari para ibu dan para babu kerepotan membersihkan debu dan tanah halus dari lantai dan tembok rumah mereka. Di lain waktu, saat musim hujan datang dan menyerbu, selokan-selokan menumpahkan segala isinya. Air hujan dan selokan menggenangi jalan, menambah penderitaan jalan utama yang kusayangi. Miris hatiku melihat lubang-lubang yang menganga hampir di setiap bagian tubuhnya.



Milenium baru adalah momen kebangkitan desaku. Dimulai dari pembangunan perumahan elit Pondok Hijau Indah di timur laut. Beberapa tahun kemudian, berbagai perumahan elit lainnya menyusul menghiasi sudut-sudut konvensional Ciwaruga. Pembangunan perumahan-perumahan itu tentu saja mengorbankan banyak hal. Dulu desa ini penuh dengan lahan pertanian palawija, dari ujung utara, sampai ujung paling selatan. Hampir semua warganya menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Waktu kecil, aku sampai hafal kapan petani menanam bunga kol, jagung, atau bahkan padi. Kadang-kadang, aku sampai sengaja pergi ke ladang untuk bertani bersama kakek dan nenekku. Pulangnya, aku membawa sekantong kecil biji jagung yang kuminta dari nenek untuk ditanam di rumah. Padahal, tanpa aku ketahui, itu adalah biji sisa yang sudah tidak bisa ditanam lagi.



Dulu, udara di desa ini cukup dingin. Cukup untuk membuat tubuh menggigil saat adzan subuh berkumandang, membuat orang malas untuk menunaikan ibadah shalat. Aku salah satunya. Pantang bagiku untuk bangun dinihari karena udara yang sangat menggigit. Selimut kutarik sampai menutupi kepala, lalu kupeluk guling dan bantal dengan erat. Ibuku sampai capek memarahiku karena hal itu. Sepupu-sepupuku dari Padalarang yang hampir setiap liburan menginap di rumahku sepakat denganku tentang udara di desaku ini. Sering kutengok apa saja isi tas mereka, dan pasti kutemukan sebuah jaket atau sweater di dalamnya. Saat mereka sampai di rumah, sambil tertawa, mereka mengatakan, "Rumahmu ini sangat jauh, Dan. Jalannya kadang nanjak dan mudun. Aku sampai mual di jalan tadi."



Umurku tak lebih dari 3 tahun saat pertama kali menginjakkan kaki di desa ini. Yang kuingat dari peristiwa itu hanya satu, yaitu truk yag dipakai saat pindah waktu itu sangatlah besar. Aku merasa seperti sedang mendaki tebing saat masuk ke kursi depan truk. Sebelum pindah, aku adalah bayi warga Padalarang, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung yang kurasa mendapatkan iklim yang cukup 'hangat'. Yang pertama kali kurasakan saat pertama tiba di Ciwaruga adalah kesepian, beraroma mistis, dan ketakutan. Perasaan terakhir ini aku dapatkan karena saat itu Ciwaruga dipenuhi oleh kebun dan ladang, yang saat malam terasa mencekam, dihiasi oleh suara-suara binatang. Aku sangat takut dan sampai kira-kira kelas 4 SD, aku masih tidur bersama dengan ayah dan ibu.

Jika anda lihat di peta, desaku ini seperti sebuah desa di peradaban zaman dahulu, yang terpusat di aliran sungai. Tetapi, yang menjadi pusat di desaku bukanlah aliran sungai. Jalan utama yang kusayanglah yang merupakan pusat dari perumahan. Itulah sebabnya aku menyayangi jalan utama ini. Bayangkan, jika tak ada jalan ini, mungkin desaku akan terisolir dari dunia luar. Tak aka kudapatkan akses internet untuk mengerjakan tugas Biologiku. Tak akan kudapatkan buku-buku yang membahas kalkulus dan trigonometri. Tak akan ada Dan yang sekolah di SMA 3.

Desa Ciwaruga terletak tepat di perbatasan kota dan kabupaten Bandung. Dapat terbayangkan pengaruh yang ditimbulkan oleh letak yang strategis ini. Mungkin sedikit mirip dengan letak Indonesia diantara Australia dan Asia. Kota memberikan pengaruh yang sangat modern, sedangkan kabupaten mempertahankan sifat-sifat konvensional.

Eropa dan Afrika. Keduanya dipisahkan oleh laut Mediterania. Itulah desaku. Itulah Ciwaruga. Masih banyak yang patut kuceritakan tentang desa kecil ini. Masih banyak juga misteri yang tersimpan di dalam tanahnya yang subur. Kan kuungkapkan kepada Anda nanti saat waktunya telah tiba.

Selasa, 05 Agustus 2008

Bodoh atau Dibodohi??

Semua orang mempunyai kebiasaannya masing-masing sesaat setelah bangun tidur. Contohnya saja ayah saya. Setelah bangun, dia pasti menyeruput kopi, mengisap sebatang Djarum Cokelat, lalu kemudian pergi ke WC untuk memenuhi panggilan alam, masih bersama rokoknya. Beda lagi dengan adik saya. Dia selalu meminum susu saat bangun tidur sambil nonton TV.

Cerita ini berhubungan dengan kebiasaan, setelah bangun tidur tentunya. Teman saya, sebut saja namanya Eman. Setelah bangun tidur, dia selalu mencari hapenya dan melihat jam digital di hape itu. Setiap hari dia selalu bangun pukul 05.15. Dan kebiasaannya adalah hanya melihat dua angka terakhir dari jam digital, alias menitnya saja.

Kemarin-kemarin dia rupanya sedang linglung. Dia terbangun dari tidurnya di malam hari, lalu melihat jam. Seperti biasa dia melihat hanya menitnya saja dan dia kaget saat melihat bahwa menit sudah menunjukkan angka lebih dari 15. Saya tidak tahu berapa angkanya, mungkin 20 atau 40. Dengan tergesa-gesa, si Eman ini pergi mandi dan bersiap-siap untuk ke sekolah. Tetapi anehnya, semua penghuni rumah belum ada yang terbangun padahal sudah hampir siang (itu menurutnya!!!). Tetapi si Eman cuek. Ia tetap bersiap-siap dan berdandan, tanpa menyadari apa yang terjadi. Saat membuka pintu rumah dan mengeluaran Supra X, dia kaget. Udah jam enam kurang tapi masih gelap gulita. Akhirnya, dia urung pergi ke sekolah saat itu dan menunggu sebentar sampai agak terang.

Si Eman lalu duduk di ruang tengah dengan santai. Saat melihat sekeliling, terlintas di depannya sebuah jam dinding yang bergelantungan dengan indah. Dan jam itu menunjukkan pukul:

00.50

Ternyata, dia bangun jam 12 malem lebih................
Bukan jam 5 lebih...............
dia bodoh,
atau,
dibodohi oleh jam digital di Nokia 2600-nya?