Kadang dia kupanggil dengan sebutan putri saja. Sampai sekarang aku masih menyimpan kenangan dengannya. Waktu SMP, aku juga sering menjumpainya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang masalah Biologi, tentu saja yang berhubungan dengan dirinya. Karena keterpaksaan melaksanakan tugas dari guruku, aku sampai tega mendekatkan bara api ke tubuhnya yang lembut sampai ia berteriak dan menunduk dalam-dalam. Butuh beberapa lama untuknya kembali percaya diri mengangkat kepalanya dan aku harus meminta maaf dengan tulus untuk itu.
Dulu, aku sering menjumpainya dimana-mana. Di ladang kakekku, di kebun tetangga, di pinggir lapangan bola, di kavling-kavling perumahan yang belum terpakai, di pinggir selokan, di sebelah pohon jambu, di bukit, di gunung, di halaman rumah orang lain, di pematang-pematang sawah, di kuburan sekeliling rumahku, di pinggir jalan raya desaku. Tetapi, dimana dia sekarang, aku tidak tahu. Entah karena kesibukan sekolahku atau karena dia marah padaku, kami jarang bertemu lagi. Atau jangan-jangan, dia sudah tak ada lagi di sekitar kehidupanku.
Semua orang menyebutnya dengan panggilan putri malu. Bukan karena wajahnya yang buruk atau karena kelakuannya yang memalukan dia mendapat sebutan seperti itu. Anda tahu bukan? Jika dia disentuh, maka dia akan menunduk dalam-dalam. Dia akan menanggapi respon sentuhan kita dengan menutup daunnya yang bercabang-cabang. Sebuah ciri kehidupan yang alami dan ajaib. Sunatullah yang telah diberikan kepadanya, yang dengan bangga ditunjukkan kepada dunia. Dia seakan berkata, “Dunia, sentuhlah aku, dan aku akan menunjukkan padamu kehebatanku!”
Tak seperti bintang di langit
Tak seperti indah pelangi
Karena diriku bukanlah mereka
Aku apa adanya
Menjadi diriku
dengan segala kekurangan
Menjadi diriku
atas kelebihanku
Syair di atas menunjukkan kegundahanku saat ini. Aku sedang berusaha untuk memotivasi diriku agar percaya diri dengan diriku saat ini. Ya, aku sedang krisis kepercayaan diri. Bukan karena aku jelek, kawan. Tetapi saat ini, begitu banyak orang-orang fantastis di sekitarku. Orang-orang yang baru kusadari mempunyai sebuah potensi untuk memberikan pengaruh pada dunia. Jika diibaratkan dalam permainan catur, mereka seperti raja, ratu, menteri, benteng, atau mungkin kuda. Sedangkan aku, adalah aku. Semut kecil hitam yang sedang berjalan di atas papan catur itu, berusaha untuk mengerti sedang apa makhluk-makhluk itu, berusaha untuk menjadi sebesar mereka dan seperti mereka untuk dapat mengubah arah permainan.
Syair di atas adalah lirik sebuah lagu indah yang dibawakan sangat menawan oleh edCoustic. Dimana-mana aku mendengarkannya. Saat mengendarai motor, saat membaca buku, saat berkutat dengan mekanika, saat memakai baju, saat makan, saat mengetik di depan komputer, saat stress, saat senang, saat bermain, dan di setiap saat. Hingga aku mengerti suatu hal dan mengingat hal yang lain.
Ternyata, semut tidak usah menjadi seperti raja, atau kuda, atau ratu. Dia tidak usah menjadi sebesar mereka, karena suatu saat, jika terus menerus memperhatikan mereka, berusaha untuk mengerti mereka, walaupun dengan waktu yang lama, semut akan mengerti alur permainan. Tentu saja tidak dengan sendirinya, butuh sesuatu yang mengatur, yang menakdirkan semua terjadi. Sesuatu yang maha, yang paling, yang menguasai. ALLAH SWT. Semut sudah berusaha, dan yang menciptakannya yang akan menentukan kelanjutan cerita usaha semut. Pernah kudengar sebuah ungkapan, 'Kepakan sayap kupu-kupu di Cina, sekecil apapun itu, bisa menjadi topan besar di Amerika'.
Kuingat lagi satu hal. Kuingat teman masa kecilku yang sangat bangga akan kelebihannya. Tak pernah malu dengan kekurangannya. Dan akan selalu berusaha untuk lebih baik. Akankah kita berjumpa lagi, Putri?