Selasa, 21 Oktober 2008

Putri yang Menunduk

Mimosa pudica. Pernahkah anda melihat spesies ini? Menakjubkan, ya aku bilang menakjubkan dan ajaib. Sejak kecil, aku senang bermain dengannya. Kadang, kujahili dia dengan sebatang lidi atau kusentuh dia dengan jari-jariku yang kotor penuh lumpur. Setelah aku bermain bola atau bermain layangan di lapangan, tak lupa kukunjungi dia dan menyapanya. Jika terlalu sering kujahili, dia sering marah dan membuat jari dan betisku terluka terkena tangannya yang tajam sehingga membuatku menangis dan melaporkannya pada Ibu. Tetapi setelah itu, aku selalu kembali dan bermain dengannya lagi.



Kadang dia kupanggil dengan sebutan putri saja. Sampai sekarang aku masih menyimpan kenangan dengannya. Waktu SMP, aku juga sering menjumpainya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang masalah Biologi, tentu saja yang berhubungan dengan dirinya. Karena keterpaksaan melaksanakan tugas dari guruku, aku sampai tega mendekatkan bara api ke tubuhnya yang lembut sampai ia berteriak dan menunduk dalam-dalam. Butuh beberapa lama untuknya kembali percaya diri mengangkat kepalanya dan aku harus meminta maaf dengan tulus untuk itu.


Dulu, aku sering menjumpainya dimana-mana. Di ladang kakekku, di kebun tetangga, di pinggir lapangan bola, di kavling-kavling perumahan yang belum terpakai, di pinggir selokan, di sebelah pohon jambu, di bukit, di gunung, di halaman rumah orang lain, di pematang-pematang sawah, di kuburan sekeliling rumahku, di pinggir jalan raya desaku. Tetapi, dimana dia sekarang, aku tidak tahu. Entah karena kesibukan sekolahku atau karena dia marah padaku, kami jarang bertemu lagi. Atau jangan-jangan, dia sudah tak ada lagi di sekitar kehidupanku.



Semua orang menyebutnya dengan panggilan putri malu. Bukan karena wajahnya yang buruk atau karena kelakuannya yang memalukan dia mendapat sebutan seperti itu. Anda tahu bukan? Jika dia disentuh, maka dia akan menunduk dalam-dalam. Dia akan menanggapi respon sentuhan kita dengan menutup daunnya yang bercabang-cabang. Sebuah ciri kehidupan yang alami dan ajaib. Sunatullah yang telah diberikan kepadanya, yang dengan bangga ditunjukkan kepada dunia. Dia seakan berkata, “Dunia, sentuhlah aku, dan aku akan menunjukkan padamu kehebatanku!”



Tak seperti bintang di langit

Tak seperti indah pelangi

Karena diriku bukanlah mereka

Aku apa adanya



Menjadi diriku

dengan segala kekurangan

Menjadi diriku

atas kelebihanku

Syair di atas menunjukkan kegundahanku saat ini. Aku sedang berusaha untuk memotivasi diriku agar percaya diri dengan diriku saat ini. Ya, aku sedang krisis kepercayaan diri. Bukan karena aku jelek, kawan. Tetapi saat ini, begitu banyak orang-orang fantastis di sekitarku. Orang-orang yang baru kusadari mempunyai sebuah potensi untuk memberikan pengaruh pada dunia. Jika diibaratkan dalam permainan catur, mereka seperti raja, ratu, menteri, benteng, atau mungkin kuda. Sedangkan aku, adalah aku. Semut kecil hitam yang sedang berjalan di atas papan catur itu, berusaha untuk mengerti sedang apa makhluk-makhluk itu, berusaha untuk menjadi sebesar mereka dan seperti mereka untuk dapat mengubah arah permainan.


Syair di atas adalah lirik sebuah lagu indah yang dibawakan sangat menawan oleh edCoustic. Dimana-mana aku mendengarkannya. Saat mengendarai motor, saat membaca buku, saat berkutat dengan mekanika, saat memakai baju, saat makan, saat mengetik di depan komputer, saat stress, saat senang, saat bermain, dan di setiap saat. Hingga aku mengerti suatu hal dan mengingat hal yang lain.


Ternyata, semut tidak usah menjadi seperti raja, atau kuda, atau ratu. Dia tidak usah menjadi sebesar mereka, karena suatu saat, jika terus menerus memperhatikan mereka, berusaha untuk mengerti mereka, walaupun dengan waktu yang lama, semut akan mengerti alur permainan. Tentu saja tidak dengan sendirinya, butuh sesuatu yang mengatur, yang menakdirkan semua terjadi. Sesuatu yang maha, yang paling, yang menguasai. ALLAH SWT. Semut sudah berusaha, dan yang menciptakannya yang akan menentukan kelanjutan cerita usaha semut. Pernah kudengar sebuah ungkapan, 'Kepakan sayap kupu-kupu di Cina, sekecil apapun itu, bisa menjadi topan besar di Amerika'.


Kuingat lagi satu hal. Kuingat teman masa kecilku yang sangat bangga akan kelebihannya. Tak pernah malu dengan kekurangannya. Dan akan selalu berusaha untuk lebih baik. Akankah kita berjumpa lagi, Putri?


Rabu, 08 Oktober 2008

Horror Story

Sudah pernah kukatakan pada Anda bahwa dulu desa tempat tinggalku adalah desa yang menakutkan, setidaknya menurut kacamataku sebagai seorang anak kecil. Apalagi, rumahku dikelilingi oleh banyak kuburan nenek moyangku. Rumahku itu menghadap ke Selatan, tepat di depannya adalah kuburan, di samping kiri juga kuburan, dan di belakang, diselangi sebuah tanah lapang juga ada kuburan. Sampai sekarang, jika aku keluar di malam hari untuk membeli sesuatu, aku masih merasa merinding. Bukannya berlebihan kawan, dulu aku adalah seorang anak yang sangat penakut.

Citra desaku yang seperti itulah yang membuat anak lucu sepertiku ketakutan. Jika malam tiba, semua suara-suara di luar rumah terasa seperti berasal dari dunia lain. Lolongan anjing, erangan kucing yang sedang hamil dan kelaparan, siulan daun-daun yang tertiup angin, langkah kaki orang-orang yang lewat di depan rumah, jangkrik yang memekik, tetesan air hujan, kepakan sayap kelelawar, dan rengekan-rengekan kodok mencari istri semuanya terdengar seperti orkestra yang dibawakan oleh hantu-hantu penunggu kuburan di sekeliling rumahku. Semua itu membuat aku sangat sulit untuk tidur, hingga aku memaksa untuk tidur bersama kedua orang tuaku sampai aku menginjak usia belasan.

Aku tak tahu tepatnya kapan. Yang aku ingat adalah aku masih SD ketika itu. Teriakan-teriakan, baik orang dewasa maupun anak kecil terdengar ribut. Aku segera keluar rumah dan menanyakan apa yang terjadi pada temanku. Bulu kudukku merinding saat dia bilang telah ditemukan dua ekor tuyul di kuburan belakang rumahku. Hah! Benar 'kan yang aku rasakan selama ini bahwa kuburan-kuburan itu mengandung misteri yang belum terpetakan. Walaupun takut, aku berlari mengikuti mereka, hendak melihat selebriti horror kampungku, sang artis baru, dua ekor tuyul di belakang rumahku.

Sesampainya di sana, aku berusaha untuk melihat tuyul-tuyul itu, tetapi nihil. Aku tanya kepada teman-teman masa kecilku, dan mereka berkata bahwa mereka bisa melihatnya. Apa yang terjadi? Selebriti itu tak dapat kulihat. Bohongkah mereka? Atau karena usiaku yang sudah dewasa, jadi aku tak dapat melihat hal-hal gaib. Setahuku waktu itu, hal-hal seperti itu hanya dapat dilihat oleh anak-anak kecil yang masih imut dan polos. Tetapi aku tak peduli dan tetap percaya tentang tuyul-tuyul itu. Pengalaman itu semakin menambah dalam ketakutan dalam hatiku. Beberapa hari kemudian, kudengar bahwa selebriti kampungku itu telah diambil kembali oleh majikannya dan dikembalikan ke tempat asalnya, jauh di Subang sana.

Namun, semakin dalam rasa takutku, semakin suka aku terhadap cerita-cerita hantu seperti itu. Entah mengapa, mungkin aku hampir gila dikuliti oleh ketakutan semu terhadap hantu. Aku sangat suka membaca cerita misteri, atau sekedar menonton film horror dan reality show tentang hantu di tivi. Hingga akhirnya, aku menemukan keberanian tersembunyi di dalam diriku.

Aku masuk ke SMP 2 Bandung, sebuah SMP ternama di kota ini. Ada sebuah organisasi asing di benakku saat masuk ke sana. KRM. Keluarga Remaja Mesjid. Ternyata itu adalah semacam organisasi pengurus mesjid. Aku tertarik dan bergabung dengannya. KRM sering mengadakan acara-acara pembinaan untuk kami, para anggotanya, seperti mentoring dan mabit di sekolah. Dari sinilah, pikiranku tentang hantu-hantu yang menakutkan akhirnya tersisihkan sedikit demi sedikit. Saat kelas dua, aku bahkan berani untuk mengelilingi sekolah sendirian, padahal sekolahku terkenal angker. Di KRM, aku menemukan keberanian itu, tetapi memunculkan ketakutan baru. Ketakutan yang terasa sangat damai, membuat aku merasa tenang sekaligus enggan untuk berbuat dosa. Walaupun ketakutan itu timbul tenggelam, tetapi aku berusaha mempertahankannya dan menambahnya dengan rasa cinta.

Itulah ketakutan yang seharusnya kumiliki. Rasa cinta yang harusnya kumiliki.
Itulah ketakutan yang seharusnya kita miliki. Rasa cinta yang harusnya kita miliki.

Takut pada-Nya.
Takut pada ALLAH swt.
Cinta pada ALLAH swt.


Selasa, 12 Agustus 2008

Antara Eropa dan Afrika

Namanya Ciwaruga. Aku tak pernah tahu mengapa daerah ini dinamakan seperti itu. Begitu banyak nama tempat di Jawa Barat yang dinamakan dengan awalan ci. Lalu, apa arti dari waruga? Entahlah, aku tidak punya alasan yang kuat untuk sekedar mencari arti dari nama itu, padahal di lain waktu, aku akan membutuhkannya.



Jalan utamanya sudah keropos seperti gigi nenek buyutku karena beban yang tiap hari ditimpakan oleh mobil-mobil besar yang lewat. Sebagian dikarenakan oleh pembangunan yang seenaknya. Orang-orang kota yang membangun villa di desa ini membuang air sisa membangun rumah ke jalan, sehingga menggerogoti jalan itu. Padahal, beberapa tahun lalu, jalan desaku ini telah mencicipi rasanya aspal hotmix. Aku sangat bangga saat itu.



Saat musim kemarau tiba, debu beterbangan tertiup angin, membuat udara sangat panas dan kotor. Rumah-rumah di pinggir jalan terkena imbasnya. Hampir setiap hari para ibu dan para babu kerepotan membersihkan debu dan tanah halus dari lantai dan tembok rumah mereka. Di lain waktu, saat musim hujan datang dan menyerbu, selokan-selokan menumpahkan segala isinya. Air hujan dan selokan menggenangi jalan, menambah penderitaan jalan utama yang kusayangi. Miris hatiku melihat lubang-lubang yang menganga hampir di setiap bagian tubuhnya.



Milenium baru adalah momen kebangkitan desaku. Dimulai dari pembangunan perumahan elit Pondok Hijau Indah di timur laut. Beberapa tahun kemudian, berbagai perumahan elit lainnya menyusul menghiasi sudut-sudut konvensional Ciwaruga. Pembangunan perumahan-perumahan itu tentu saja mengorbankan banyak hal. Dulu desa ini penuh dengan lahan pertanian palawija, dari ujung utara, sampai ujung paling selatan. Hampir semua warganya menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Waktu kecil, aku sampai hafal kapan petani menanam bunga kol, jagung, atau bahkan padi. Kadang-kadang, aku sampai sengaja pergi ke ladang untuk bertani bersama kakek dan nenekku. Pulangnya, aku membawa sekantong kecil biji jagung yang kuminta dari nenek untuk ditanam di rumah. Padahal, tanpa aku ketahui, itu adalah biji sisa yang sudah tidak bisa ditanam lagi.



Dulu, udara di desa ini cukup dingin. Cukup untuk membuat tubuh menggigil saat adzan subuh berkumandang, membuat orang malas untuk menunaikan ibadah shalat. Aku salah satunya. Pantang bagiku untuk bangun dinihari karena udara yang sangat menggigit. Selimut kutarik sampai menutupi kepala, lalu kupeluk guling dan bantal dengan erat. Ibuku sampai capek memarahiku karena hal itu. Sepupu-sepupuku dari Padalarang yang hampir setiap liburan menginap di rumahku sepakat denganku tentang udara di desaku ini. Sering kutengok apa saja isi tas mereka, dan pasti kutemukan sebuah jaket atau sweater di dalamnya. Saat mereka sampai di rumah, sambil tertawa, mereka mengatakan, "Rumahmu ini sangat jauh, Dan. Jalannya kadang nanjak dan mudun. Aku sampai mual di jalan tadi."



Umurku tak lebih dari 3 tahun saat pertama kali menginjakkan kaki di desa ini. Yang kuingat dari peristiwa itu hanya satu, yaitu truk yag dipakai saat pindah waktu itu sangatlah besar. Aku merasa seperti sedang mendaki tebing saat masuk ke kursi depan truk. Sebelum pindah, aku adalah bayi warga Padalarang, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung yang kurasa mendapatkan iklim yang cukup 'hangat'. Yang pertama kali kurasakan saat pertama tiba di Ciwaruga adalah kesepian, beraroma mistis, dan ketakutan. Perasaan terakhir ini aku dapatkan karena saat itu Ciwaruga dipenuhi oleh kebun dan ladang, yang saat malam terasa mencekam, dihiasi oleh suara-suara binatang. Aku sangat takut dan sampai kira-kira kelas 4 SD, aku masih tidur bersama dengan ayah dan ibu.

Jika anda lihat di peta, desaku ini seperti sebuah desa di peradaban zaman dahulu, yang terpusat di aliran sungai. Tetapi, yang menjadi pusat di desaku bukanlah aliran sungai. Jalan utama yang kusayanglah yang merupakan pusat dari perumahan. Itulah sebabnya aku menyayangi jalan utama ini. Bayangkan, jika tak ada jalan ini, mungkin desaku akan terisolir dari dunia luar. Tak aka kudapatkan akses internet untuk mengerjakan tugas Biologiku. Tak akan kudapatkan buku-buku yang membahas kalkulus dan trigonometri. Tak akan ada Dan yang sekolah di SMA 3.

Desa Ciwaruga terletak tepat di perbatasan kota dan kabupaten Bandung. Dapat terbayangkan pengaruh yang ditimbulkan oleh letak yang strategis ini. Mungkin sedikit mirip dengan letak Indonesia diantara Australia dan Asia. Kota memberikan pengaruh yang sangat modern, sedangkan kabupaten mempertahankan sifat-sifat konvensional.

Eropa dan Afrika. Keduanya dipisahkan oleh laut Mediterania. Itulah desaku. Itulah Ciwaruga. Masih banyak yang patut kuceritakan tentang desa kecil ini. Masih banyak juga misteri yang tersimpan di dalam tanahnya yang subur. Kan kuungkapkan kepada Anda nanti saat waktunya telah tiba.

Selasa, 05 Agustus 2008

Bodoh atau Dibodohi??

Semua orang mempunyai kebiasaannya masing-masing sesaat setelah bangun tidur. Contohnya saja ayah saya. Setelah bangun, dia pasti menyeruput kopi, mengisap sebatang Djarum Cokelat, lalu kemudian pergi ke WC untuk memenuhi panggilan alam, masih bersama rokoknya. Beda lagi dengan adik saya. Dia selalu meminum susu saat bangun tidur sambil nonton TV.

Cerita ini berhubungan dengan kebiasaan, setelah bangun tidur tentunya. Teman saya, sebut saja namanya Eman. Setelah bangun tidur, dia selalu mencari hapenya dan melihat jam digital di hape itu. Setiap hari dia selalu bangun pukul 05.15. Dan kebiasaannya adalah hanya melihat dua angka terakhir dari jam digital, alias menitnya saja.

Kemarin-kemarin dia rupanya sedang linglung. Dia terbangun dari tidurnya di malam hari, lalu melihat jam. Seperti biasa dia melihat hanya menitnya saja dan dia kaget saat melihat bahwa menit sudah menunjukkan angka lebih dari 15. Saya tidak tahu berapa angkanya, mungkin 20 atau 40. Dengan tergesa-gesa, si Eman ini pergi mandi dan bersiap-siap untuk ke sekolah. Tetapi anehnya, semua penghuni rumah belum ada yang terbangun padahal sudah hampir siang (itu menurutnya!!!). Tetapi si Eman cuek. Ia tetap bersiap-siap dan berdandan, tanpa menyadari apa yang terjadi. Saat membuka pintu rumah dan mengeluaran Supra X, dia kaget. Udah jam enam kurang tapi masih gelap gulita. Akhirnya, dia urung pergi ke sekolah saat itu dan menunggu sebentar sampai agak terang.

Si Eman lalu duduk di ruang tengah dengan santai. Saat melihat sekeliling, terlintas di depannya sebuah jam dinding yang bergelantungan dengan indah. Dan jam itu menunjukkan pukul:

00.50

Ternyata, dia bangun jam 12 malem lebih................
Bukan jam 5 lebih...............
dia bodoh,
atau,
dibodohi oleh jam digital di Nokia 2600-nya?

Selasa, 29 Juli 2008

World, Look at Me!!!

Assalamu'alaikum...
Finally i have a blog. Saya adalah orang yang suka menulis. Tetapi saya tidak pernah dapat menyalurkannya. Dan, hey, akhirnya saya menemukan media ini!